Oleh Nursholihah, S.Pd., M.Hum.
Sore
tadi ditemani salah seorang perwakilan orang tua, aku bertakziah ke salah satu
rumah siswa yang ibunya baru saja meninggal satu minggu lalu. Baru sempat,
karena saat itu masih harus menunggu jadwal pemeriksaan swab, alhamdulillah
hasilnya negatif.
Anak
itu masih memakai gamis berwarna hitam saat kami berkunjung ke rumahnya, dia
bilang pagi tadi baru saja menengok ibunya di makam. Tadi malam tepat hari
ketujuh ibu meninggal. Almarhumah memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan
vertigo, sudah sejak dari Februari kondisinya naik turun. Baru seminggu sebelum
meninggal, kondisnya benar-benar drop, hanya bisa beraktivitas di kasur.
Aku
tertegun mendengar anak dan ayah itu bercerita bagaimana mereka dengan tekun
mengurusi almarhumah semasa sakitnya. Dari mulai mengganti pampers, menyuapi
makan, sampai menuntunnya melafalkan ayat2 Al-Quran. Tepat sehari sebelum
meninggal, anak itu bercerita, ia sangat sedih karena sang ibu tidak lagi
mengenalinya, bahkan sudah tdk lagi mau membuka mata, hanya merespon dengan
suara yang makin lama makin lambat. Dua jam sebelum ibunya dinyatakan wafat,
dia sudah menguatkan hatinya untuk menerima kenyataan. “Aku tahu ibu sudah
saatnya pulang, Insya Allah aku kuat” begitu katanya. Tetap masih dengan
isakan tangis. Anak berusia 14 tahun, dengan keteguhan hati yang hebat.
Allah
SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS.
02-286). Benar juga, kita tidak perlu membanding-bandingkan ujian kita, masalah
kita dengan orang lain. Tidak perlu juga kita menakar tingkat ujian yang kita
hadapi dengan ujian orang lain, “kamu mah tidak merasakan apa yang saya
rasakan”, “coba kamu jadi saya” tidak perlu begitu. Ada orang
yang memang jadi merasa lebih baik, setelah berbagi kisah ujian yang
dihadapinya kepada orang banyak. Tapi bukan berarti orang yang tak pernah
menceritakan keluh kesahnya, terbebas dari ujian. Ada jenis orang orang yang
justru merasa baik baik saja dengan cara tidak menceritakan ujian hidupnya
kecuali kepada Allah dan orang orang terdekat.
Kita
bisa membandingkan hanya dengan tujuan untuk lebih bersyukur. Selalu ada
rotasi. Belum tentu orang lain sanggup menjalani ujian yang tengah kita hadapi,
pun sebaliknya, belum tentu juga kita sanggup jika ada di posisi orang lain
yang sedang diuji. Anak itu telah diberikan kekuatan, untuk menghadapi takdir
kehilangan ibu di usia remaja. Begitupun kita, diuji dengan cara Allah menguji
kita, sesuai kemampuan kita. Hanya Allah yang mampu menakar dengan Maha Teliti.
Tugas kita hanya menjalani, bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika
diuji. Jangan menakar dengan logika kita. Segala takdir digenapi dengan iman.